Selasa, 16 Maret 2010

PERSEKONGKOLAN

















-klik untuk melihat dalam ukuran besar-

Rabu, 10 Maret 2010

tren anti-tren

Sepucuk revolver mengarah ke dagunya. Apa yang sedang dipikirkannya saat itu masih jadi teka-teki hingga hari ini. Tapi, yang jelas dia telah mati bunuh diri dengan menenggak drugs dalam dosis tinggi dan ditutup secara tragis oleh letupan revolver. Dia adalah Kurt Cobain.

Ada sebuah buku berjudul “radikal itu menjual”. Di lembar-lembar awal, buku itu menyinggung tentang alasan Kurt Cobain bergabung ke dalam 27 Club (sebutan untuk musisi-musisi dewa yang mati di usia 27 tahun). Buku itu membahas salah satu spekulasi yang menarik tentang kematian Cobain. Spekulasi tersebut kira-kira berbunyi, “Cobain bunuh diri karena merasa telah melacurkan pergerakan Grunge”.

Ya, bisa jadi cobain frustasi ketika sadar bahwa pergerakan counter-culture yang selama ini dibangun oleh dia dan teman-temannya sekampung seattle ternyata malah menjadi produk mainstream culture baru. Bukan tidak mungkin Cobain yang terkenal sering mengumpat hippies karena kegagalan budaya tandingnya malah terkena karma dengan mengalami kegagalan serupa.










Itu cerita dari negeri Uncle Kurt. Di Indonesia, selang beberapa tahun setelah Paman Kurt wafat di tahun 1994, pergerakan antikultur musik juga mulai bergejolak. Ketika MTV Indonesia didominasi oleh video klip Dewa 19, Kahitna, dan Kla Project. Muncul sebuah video klip yang agak nyleneh. Video klip ini berbeda dengan video lainnya yang sakral kiranya untuk menampilkan sang artis dengan wah. Di video klip ini, sang artis malah terlihat blur. Gambarnya pun berwarna hitam putih, tidak berwarna-warni seperti video klip lain di masa itu. “Kosong”, itu judul yang tertera. Sebuah video klip persembahan Pure Saturday dari gerakan musik independent atau indie.

Dan kita, pemuda masa kini, mungkin sudah tidak akan heran bercampur kaget lagi mendengar kata indie. Coba saja cek PC atau ipod mahasiswa fikom. Penggal kepala orang itu kalau dia tidak punya minimal satu mp3 band indie. Ya, ulat indie yang dulunya melindungi diri dengan berkepompong sebagai bentuk antitren sekarang sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik favorit banyak orang alias jadi tren. Entah penggiat indie harus senang atau sedih melihat fenomena ini, tapi fakta itu nyata di depan pelupuk mata.

Adanya tren baru ini tentu saja tidak disia-siakan oleh korporat-korporat untuk bermaksiat memanfaatkannya sebagai komoditas. Pertunjukan band indie atau gigs yang harusnya dilakukan dengan spirit berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) atau D.I.Y (do it yourself), malah disetubuhi oleh korporat dengan mensponsori acara tersebut. Bahkan sampai ada acara indie yang dikemas sebusuk audisi idol-idolan dengan ditunggangi perusahaan rokok. Tahi binatang apalagi ini?

Nyatanya, pergerakan yang independent atau merdeka ini sekarang sudah terjajah oleh sifat mainstream. Suatu kondisi yang ngenas. Jangan sampai ada musisi-musisi penggerak scene indie bunuh diri melihat situasi ini. Karena, ketika saritem sudah ditutup oleh pemerintah, pemuda Bandung malah membuat bisnis prostitusi baru bernama INDIE.














*S.A.Y.I.D.A.N. hehehe....angkat sekali lagi gelasmu, kawan!