Jumat, 14 Mei 2010

PROGRESS RISET ORAL HISTORY SAYA

Baiklah, langsung saja, saya mengganti tema riset sejarah lisan saya. Kenapa? Alasan pertama karena skripsi yang masih jauh di depan mata namun dekat sekali menikam jantung. Jurusan yang saya pilih adalah jurnalistik dan rata-rata judul skripsinya tentang media. Mengapa tidak sekalian saja saya meriset tentang media minor di scene bawahtanah kota bandung dan siapa tahu bisa saya jadikan skripsi. Lumayan kan? Sambil menyelam bernapas dalam air itu namanya.

Alasan kedua adalah karena tema riset saya yang pertama, toko buku ultimus, jika dirunut periodisasinya, saya nilai masih singkat. Baru terbentuk tahun 2004 dan baru berjalan 6 tahun. Itu menurut saya.

Maka diresmikan lah riset saya yang bertema “ZINE HARDCORE SCENE”. Kenapa hardcore scene? Apa saya berkecimpung di sana? Tidak. Teman sekamar saya lah yang aktif di hardcore scene. Karena ada penghubung yang efektif itulah, maka saya memilih tema zine di hardcore scene.

Ba’da maghrib tadi saya dan teman saya paton bergerak ke arah jalan riau untuk menjemput harta karun yang sangat dibutuhkan untuk proses riset saya, ZINE HARDCORE. Kami datang ke sebuah outlet tas di jalan itu. Di sana kami bertemu Deden dari matamata distro. Setelah menyerahkan uang ganti fotokopi, saya pun mendapatkan segepok kertas yang berisi informasi berharga (yang tentunya sangat berguna untuk riset dan juga berguna untuk menambah ilmu saya).

Berbagai macam zine saya dapatkan. Ada zinenya arian13 - TIGA BELAS, REDCORE, zinenya Pam – saya lupa namanya, dan lain-lain. Alhamdulillah. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal di hati. Deden lupa memfotokopi zine Ucok Homicide yang judulnya MEMBAKAR BATAS. Padahal kata Paton zine itu edan pembahasannya. Tapi ya sudahlah. Saya sudah menyuruh paton untuk mengingatkan Deden untuk memfotokopi zine MEMBAKAR BATAS.

Setelah menambah tumpukan bacaan di kamar. Saya memilih satu zine untuk dibaca. Dan zine yang beruntung untuk dibaca adalah REDCORE #2. Oh iya, sekedar info yang penting untuk saya dan kalau bagi kalian tidak penting ya baca saja...hehe..., ternyat REDCORE ZINE yang saya dapatkan cuma ada satu biji itupun yang volume kedua saja. Bagi hadirin-hadirat pembaca tulisan ini yang merasa punya REDCORE ZINE #2, mohon beritahu saya. Saya mau fotokopi.

Kembali lagi ke REDCORE ZINE #2. Setelah memilih zine itu. Saya pun membacanya sambil menikmati supercoffee. Dan inilah hasil dari kemampuan membaca dan mengingat saya :

  • Pada masa zine ini dibuat (tanggalnya saya tidak tahu, tapi di situ ada tulisan tentang isu kenaikan harga bbm di masa megawati menjadi wakil presiden), di scene hardcore sedang hangat-hangatnya isu tentang NOIN BULLET yang bergabung ke major label. Saya agak ragu juga nulis ini. Soalnya dari penafsiran saya, isu ini terhitung sensitif pada masanya. Maka dari itu saya mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan.
  • Saat itu ada masalah lain pula di scene hardcore, yaitu tentang kompilasi DISORDER OF YOUTH. Saya masih belum paham kalau tentang isu satu ini. Nanti saya cari tahu lebih jauh lagi.
  • Di situ juga disinggung tentang beberapa scenester yang complain kenapa lebih banyak zine hardcore yang membahas isu politik ketimbang musik.
  • Dalam zine itu juga ada jawaban atas pertanyaan yang ditujukan pada penulisnya yang berbunyi : "REDCORE itu zine hardcore sosialis, apakah hardcore harus politis?" Untuk tau jawabannya baca saja sendiri zine tersebut. Lumayan menguras tenaga menulis jawabannya. Hehe…
  • Di zine itu juga terdapat info-info actual dari scene hardcore bandung maupun luar bandung.
  • Dan zine itu diakhiri dengan artikel yang berisi propaganda untuk menolak kenaikan tarif BBM dan listrik.
Sekian dulu progress riset saya kali ini. Jika ada kritik dan saran mohon dikomen. Jika tidak ada, komen saja laaah. Toh itu tidak dosa apabila tidak berbau sara.

Insya Allah, kalau ada kemauan dan kesempatan, progress riset akan saya post di facebook dan blog.

Bandung utara, dago malam.

Selasa, 16 Maret 2010

PERSEKONGKOLAN

















-klik untuk melihat dalam ukuran besar-

Rabu, 10 Maret 2010

tren anti-tren

Sepucuk revolver mengarah ke dagunya. Apa yang sedang dipikirkannya saat itu masih jadi teka-teki hingga hari ini. Tapi, yang jelas dia telah mati bunuh diri dengan menenggak drugs dalam dosis tinggi dan ditutup secara tragis oleh letupan revolver. Dia adalah Kurt Cobain.

Ada sebuah buku berjudul “radikal itu menjual”. Di lembar-lembar awal, buku itu menyinggung tentang alasan Kurt Cobain bergabung ke dalam 27 Club (sebutan untuk musisi-musisi dewa yang mati di usia 27 tahun). Buku itu membahas salah satu spekulasi yang menarik tentang kematian Cobain. Spekulasi tersebut kira-kira berbunyi, “Cobain bunuh diri karena merasa telah melacurkan pergerakan Grunge”.

Ya, bisa jadi cobain frustasi ketika sadar bahwa pergerakan counter-culture yang selama ini dibangun oleh dia dan teman-temannya sekampung seattle ternyata malah menjadi produk mainstream culture baru. Bukan tidak mungkin Cobain yang terkenal sering mengumpat hippies karena kegagalan budaya tandingnya malah terkena karma dengan mengalami kegagalan serupa.










Itu cerita dari negeri Uncle Kurt. Di Indonesia, selang beberapa tahun setelah Paman Kurt wafat di tahun 1994, pergerakan antikultur musik juga mulai bergejolak. Ketika MTV Indonesia didominasi oleh video klip Dewa 19, Kahitna, dan Kla Project. Muncul sebuah video klip yang agak nyleneh. Video klip ini berbeda dengan video lainnya yang sakral kiranya untuk menampilkan sang artis dengan wah. Di video klip ini, sang artis malah terlihat blur. Gambarnya pun berwarna hitam putih, tidak berwarna-warni seperti video klip lain di masa itu. “Kosong”, itu judul yang tertera. Sebuah video klip persembahan Pure Saturday dari gerakan musik independent atau indie.

Dan kita, pemuda masa kini, mungkin sudah tidak akan heran bercampur kaget lagi mendengar kata indie. Coba saja cek PC atau ipod mahasiswa fikom. Penggal kepala orang itu kalau dia tidak punya minimal satu mp3 band indie. Ya, ulat indie yang dulunya melindungi diri dengan berkepompong sebagai bentuk antitren sekarang sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik favorit banyak orang alias jadi tren. Entah penggiat indie harus senang atau sedih melihat fenomena ini, tapi fakta itu nyata di depan pelupuk mata.

Adanya tren baru ini tentu saja tidak disia-siakan oleh korporat-korporat untuk bermaksiat memanfaatkannya sebagai komoditas. Pertunjukan band indie atau gigs yang harusnya dilakukan dengan spirit berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) atau D.I.Y (do it yourself), malah disetubuhi oleh korporat dengan mensponsori acara tersebut. Bahkan sampai ada acara indie yang dikemas sebusuk audisi idol-idolan dengan ditunggangi perusahaan rokok. Tahi binatang apalagi ini?

Nyatanya, pergerakan yang independent atau merdeka ini sekarang sudah terjajah oleh sifat mainstream. Suatu kondisi yang ngenas. Jangan sampai ada musisi-musisi penggerak scene indie bunuh diri melihat situasi ini. Karena, ketika saritem sudah ditutup oleh pemerintah, pemuda Bandung malah membuat bisnis prostitusi baru bernama INDIE.














*S.A.Y.I.D.A.N. hehehe....angkat sekali lagi gelasmu, kawan!

Minggu, 28 Februari 2010

pesta ria

Aku bingung. Aku bingung tentang makna.

Aku berfikir. Aku berfikir tentang kebenaran.
Saya tidak mampu memilih atau memilah siapa yang benar dan siapa yang salah.

Aku tahu pusat kebenaran. Aku tahu itu.
Aku takut. Aku takut kepada semua.

Kita bukan kawan lagi, setan!
Kau tipu aku. Pestamu busuk. Pestamu murahan. Minumanmu tak pernah membuatku naik terlalu tinggi. Ganjamu tak pernah membuatku tertawa lepas.

Sekarang aku lebih memilih pesta bersama malaikat.

Tapi, di mana kalian malaikat? Kalian, setan dan malaikat, kenapa serupa? Aku bingung membedakan kalian! Jangan sampai buat aku marah. Sehingga aku berpesta sendiri dengan minuman yang kuracik sendiri pula.

Tapi, apa nikmatnya berpesta sendiri. Euforia hanya didapat dalam kebersamaan. Tampaknya aku harus berusaha mencarimu, malaikat.

Tunggu aku. Jangan angkat gelasmu dulu, kawan!

Jumat, 26 Februari 2010

weezer - only in dreams

Ijinkan saya mengenalkan diri.

Saya pengecut. Saya pecundang.

Saya pengecut yang cuma berani melihat kamu dari balik etalase.
Padahal rintik cantik hujan menuntunmu berteduh di seberang sana.
Saya takut memayungimu.

Saya pun pecundang yang tanpa nyali hanya berani menulis kalimat ini.

Saya mohon kamu mengerti, sang alasan kegelisahan.

Kamu pernah tersenyum di mimpi saya.
Dan itu membuat saya tersenyum saat terjaga.

Tapi itu cuma mimpi.
Tapi itu karena saya tak berani.
Tapi itu karena saya tidak punya nyali.


(inspired by weezer)

Kamis, 25 Februari 2010

menertawakan hidup (BILL HICKS)

“Kita hidup di era terbunuhnya John Lennon. Taik! Kalo mau bunuh orang, punya selera musik yang bagus dikit napa.”

-quote Bill Hicks yang telah dialihbahasakan-

fasisme anti-alay-isme (pindahan dari tumblr.com)

Sudah lama saya tidak menulis. Padahal saya penganut ajaran “bakat menulis itu muncul kalau sering dan suka menulis”. Mungkin saya tidak menulis lagi karena saya sempat murtad dari ajaran itu dan masuk aliran “pemalas berbakat”.

Oh ya, malam ini saya menulis diiringi lagu foo fighters. YEAAAHHH…FIGHT! LAWAN SEMUA KEMALASAN! Lagu ini membuat saya bersemangat menulis karena mengingatkan saya akan semangat grunge yang membuat gebrakan “bermusik dari hati” dengan aliran alternative music-nya.

Tadi saya bercakap-cakap dengan sahabat saya, Wild. Percakapan panjang kami sedikit menyerempet tentang ALAY. Alay, menurut saya hanyalah istilah baru untuk kata kampungan. Kembali lagi ke pembicaraan kami. Wild mengatakan kalau di twitter ada kabar panas (hot) tentang seorang cewek yang sangat fanatik menghina alay. Sekarang cewek ini menjadi orang yang paling banyak difollow di twitter karena tingkahnya.

Alay memang merupakan fenomena umum yang sedang marak diperbincangkan sejak saya SMA. Saat ini fenomena ini tampaknya sudah mencapai puncak. Jika dulu alay istilah alay Cuma diketahui oleh segelintir orang, sekarang rata-rata anak muda pasti tau apa itu alay. Nanti di tahun 2020, ketika orang bernostalgia tentang masa akhir 2010an pasti alay adalah hal penting yang akan diingat. Sama halnya dengan orang bernostalgia masa 80an dengan ajojingnya.

Kenapa orang jadi sentiment terhadap alay? Beragam jawaban teman-teman saya ketika diajukan pertanyaan ini. Ada yang bilang kalau gaya tulisan mereka di dunia maya tidak enak dipandang. Hal itulah yang membuat orang gonta-ganti situs jaringan sosial. Ketika dulunya fs sedang marak dan kemudian dipenuhi alay, mereka yang tidak senang kemudian memutuskan untuk menggunakan facebook. Facebook pun akhirnya dipenuhi alay, mereka pun berbondong-bondong pindah menggunakan twitter. Begitu seterusnya sampai ajal menjemput.

Alay juga tidak hanya identik dengan tulisannya yang rada aneh. Tapi juga identik dengan musik dan gaya berpakaian. Band-band mainstream yang sering disiarkan di acara-acara televisi swasta seperti dahsyat, inbox, dan derings sering disebut band alay. Kalau soal cara berpakaian saya kurang paham bagaimana ciri khas anak alay. Karena saya sendiri kurang paham bagaimana cara berpakaian yang baik dan benar. Saya berpakaian hanya mengikuti selera.

Saya lebih senang melihat fenomena ini dari sudut orang yang suka menghina alay. Apa dasarnya mereka punya hak menghina hak manusia untuk menunjukkan identitas diri. Apakah mereka tidak sadar kalau mereka sama saja dengan fasis. Apa salahnya orang-orang yang mereka sebut alay itu menulis dengan gaya tulisan mereka. Toh mereka nyaman dengan tulisan itu.

Mereka yang sering menghina orang dengan sebutan alay, apakah merasa bahwa derajat mereka itu lebih tinggi dari derajat alay. Saya takut kalau generasi pemuda yang di dalamnya terdapat saya sendiri berubah menjadi generasi rasis. Kalau dari sejak dini pemuda sudah mulai mengkotak-kotakkan sesamanya dengan tingkatan derajat dari rendah ke tinggi, jangan terlalu banyak berharap perubahan bisa datang dari generasi seperti ini.